Jumat, 31 Oktober 2014

"Tanaman Tuhan" yang selamatkan lingkungan

Petani tambak melakukan pembersihan bibit tanaman mangrove dari sampah di kawasan Wonorejo Rungkut Surabaya(arsip/ANTARA FOTO/Eric Ireng)
Surabaya  (ANTARA News) - "Bakau ini adalah tanaman Gusti Allah."

Kalimat itu dikatakan Djoko Suwondo sambil jemari tangan kirinya merangkul erat empat bibit bakau.

Djoko, Kepala Pengelola Ekowisata Hutan Mangrove, Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur,  menjelaskan kepada pengunjung cara menanam tanaman penangkal abrasi itu.

Pengunjung seolah berpadu suara "ooo..." tanda paham atas ucapan Djoko ketika dia menarik umbi bakau.  Terlihat potongan kerucut yang sempurna.

Bentuk dan ukuran kerucut itu sangat presisi dengan "tutup" umbi di atasnya, seperti telah diukir dengan hati-hati.

Kerucut itu lah yang nantinya akan menjadi tunas pohon bakau dan menyatu menjadi rimbunan hutan mangrove.

"Ini yang saya bilang tanaman Gusti Allah, Allah benar-benar menciptakan sempurna, benar-benar pas kalau orang mana bisa ngukir sepas dan serapi ini," tuturnya.

Tunas itu tidak ditancapkan, tetapi justru ia harus diposisikan di atas yang akan tumbuh menjadi batang dan daun.

Lawan dari tunas yang sama-sama lancip itu lah yang ditancapkan ke tanah berlumpur dan akan mengakar hingga kedalaman 200 meter.

Ajak Bertobat
Kepedulian Djoko terhadap bakau dimulai pada 2006 silam ketika ia tidak sengaja menyusuri sungai dan melihat pembalakan besar-besaran.

Bakau diincar para pembalak untuk dibuat arang karena lebih tahan lama dibandingkan kayu-kayu yang lain.

"Keunggulannya ini, api bisa menyala walaupun dalam keadaan basah," ujarnya.

Khawatir akan dampak buruk abrasi yang semakin mengikis daratan, Djoko mulai terjun menanami bakau.

Pria lulusan Teknik Sipil Universitas Atma Jaya itu rela menanggalkan profesinya sebagai kontraktor di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mulai menanam pohon yang bernama latin "Rhizopora racemosa" itu.

"Kalau tidak ditanami bakau, abrasi ini sampai Ahmad Yani (pusat Kota Pahlawan), di situ saya terpanggil," ucapnya.

Ia pun mulai mengajak pembalak-pembalak liar untuk "tobat", berbalik arah menanami bakau.

Awalnya memang sulit, karena pembalak pembalak liar itu mendapatkan sedikitnya Rp50.000 per hari dari aksi ilegalnya itu.

Djoko pun mau tidak mau mengimingi penghasilan yang lebih besar dari menanam pohon bakau, tak ayal ia harus merogoh koceknya sendiri karena sebagian besar pembalak di sana termasuk dalam golongan keluarga miskin (gakin).

Lambat laun, pesisir laut yang tergerus abrasi mulai menghijau hingga sepanjang 200 hektare.

Bantuan-bantuan pun mulai mengalir, seperti dari PT Pertamina yang menyumbang 30.000 pohon bakau sejak 2011 serta mendirikan dua gazebo dan satu alat pantau senilai Rp150 juta sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Lahan yang terkikis pun mulai berubah menjadi tempat yang menyenangkan untuk berwisata, mulai dari anak-anak sekolah untuk "study tour" hingga ibu-ibu dharma wanita yang menggelar arisan.

Pejabat-pejabat daerah pun mulai berdatangan mengunjungi Ekowisata Mangrove yang berlokasi di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Pantai Timur Surabaya itu.

"Tapi jujur, saya kurang begitu senang karena para pejabat itu hanya seremonial saja, nanti tidak akan ke sini lagi untuk memantau, niat saya bukan itu, bukan untuk dilihat," tukasnya.

Gaung keberhasilan Djoko dalam menyelamatkan lingkungan pun sampai ke telinga Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Wakil Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Kristen F Bauer dan VJ Daniel pun sempat bertandang ke ekowisata tersebut.

"Pihak Amerika ingin menyumbang, tapi enggak bisa karena harus melalui pemerintah daerah," ungkap Djoko.

Sejumlah penghargaan pun diraih, seperti Juara II Objek Wisata Terbaik Kategori Kreatif dan Inovatif pada 2012 dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan dari salah satu agen pariwisata.

Saat ini 36 karyawannya pun mendapat penghasilan yang lebih baik, sedikitnya Rp75.000 sampai Rp100.000 ditambah dengan uang makan Rp8.000 per hari.

"Dulu yang susah sekali diajak, sekarang malah tidak mau libur," ujarnya, sambil tersenyum.

Lingkungan sekitar juga diberdayakan dengan membentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang membuat es mangrove, dan menyediakan makanan untuk setiap pengunjung yang ingin makan-makan di gazebo.

Pengunjung dikenakan biaya masuk Rp15.000 untuk anak-anak, dewasa Rp25.000 dan sudah termasuk menanam bakau, sementara bagi yang ingin menyewa perahu dikenakan Rp300.000 yang bisa memuat enam orang.

Sehari-hari, Djoko dan keluarganya hidup dari penghasilan usaha "minimarket" atau toko swalayan.

"Saya tidak merasa bekerja di hutan mangrove ini, seusia saya apalagi yang dikejar, saya hanya mengharapkan ridho Gusti Allah, dan saya yakin bagi siapapun yang menanam bakau, imbalannya itu surga," ujarnya.
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2014
Baca Juga :